Cintailah Apa Adanya (Arti Sebuah Cinta)
Posted by
yudijs | Digital News 4U at Kamis, 06 Januari 2011
Share this post:
|
Suami saya adalah seorang
insinyur, saya mencintai sifatnya
yang alami dan Saya menyukai
perasaan hangat yang muncul
dihati saya ketika saya
bersandar di bahunya yang
bidang.
Tiga tahun dalam masa
perkenalan, dan dua tahun
dalam masa pernikahan,saya
harus akui, bahwa saya mulai
merasa lelah, alasan-alasan
saya mencintainya dulu telah
berubah menjadi sesuatu yang
menjemukan. Saya seorang
wanita yang sentimentil dan
benar-benar sensitif serta
berperasaan halus. Saya
merindukan saat-saat romantis
seperti seorang anak yang
menginginkan permen. Tetapi
semua itu tidak pernah saya
dapatkan.
Suami saya jauh berbeda dari
yang saya harapkan. Rasa
sensitif-nya kurang. Dan
ketidakmampuannya dalam
menciptakan suasana yang
romantis dalam pernikahan kami
telah mementahkan semua
harapan saya akan cinta yang
ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri
untuk mengatakan keputusan
saya kepadanya, bahwa saya
menginginkan perceraian.
"Mengapa?", dia bertanya
dengan terkejut. "Saya
lelah, kamu tidak pernah
bisa memberikan cinta
yang saya inginkan". Dia
terdiam dan termenung
sepanjang malam di depan
komputernya, tampak
seolah-olah sedang
mengerjakan sesuatu, padahal
tidak.
Kekecewaan saya semakin
bertambah, seorang pria yang
bahkan tidak dapat
mengekspresikan perasaannya,
apalagi yang bisa saya
harapkan darinya? Dan
akhirnya dia bertanya, "Apa
yang dapat saya lakukan untuk
merubah pikiranmu?".
Saya menatap matanya dalam-
dalam dan menjawab dengan
pelan, "Saya punya
pertanyaan, jika kau dapat
menemukan jawabannya di
dalam hati saya, saya akan
merubah pikiran saya:
Seandainya, saya menyukai
setangkai bunga indah
yang ada di tebing gunung
dan kita berdua tahu jika
kamu memanjat gunung
itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan
melakukannya untuk saya?"
Dia
termenung dan akhirnya
berkata, "Saya akan
memberikan jawabannya
besok". Hati saya langsung
gundah mendengar responnya.
Keesokan paginya, dia tidak ada
di rumah, dan saya menemukan
selembar kertas dengan oret-
oretan tangannya dibawah
sebuah gelas yang berisi susu
hangat yang bertuliskan...
"Sayang, saya tidak akan
mengambil bunga itu
untukmu, tetapi ijinkan
saya untuk menjelaskan
alasannya." Kalimat
pertama ini
menghancurkan hati saya.
Saya melanjutkan untuk
membacanya.
"Kamu bisa mengetik di
komputer dan selalu
mengacaukan program di
PC-nya dan akhirnya
menangis di depan monitor,
saya harus memberikan
jari-2 saya supaya
bisa membantumu dan
memperbaiki programnya.
Kamu selalu lupa membawa
kunci rumah ketika kamu
keluar rumah, dan saya
harus memberikan kaki
saya supaya bisa
mendobrak pintu, dan
membukakan pintu untukmu
ketika pulang. Kamu suka
jalan-jalan ke luar kota
tetapi selalu nyasar di
tempat-tempat baru
yang kamu kunjungi, saya
harus menunggu di rumah
agar bisa memberikan
mata saya untuk
mengarahkanmu. Kamu
selalu pegal-pegal pada
waktu teman baikmu datang setiap bulannya,
dan saya harus memberikan
tangan saya untuk memijat
kakimu yang pegal. Kamu
senang diam di rumah, dan
saya selalu kuatir kamu
akan menjadi aneh. Dan
harus membelikan sesuatu
yang dapat menghiburmu
di rumah atau
meminjamkan lidahku
untuk menceritakan hal-hal
lucu yang aku alami. Kamu
selalu menatap
komputermu, membaca
buku dan itu tidak baik
untuk kesehatan matamu,
saya harus menjaga mata
saya agar ketika kita tua
nanti, saya masih dapat
menolong mengguntingkan
kukumu dan mencabuti
ubanmu. Tanganku
akan memegang tanganmu,
membimbingmu menelusuri
pantai, menikmati matahari
pagi dan pasir yang indah.
Menceritakan warna-warna
bunga yang bersinar dan
indah seperti cantiknya
wajahmu.
Tetapi sayangku, saya
tidak akan mengambil
bunga itu untuk mati.
Karena, saya tidak sanggup
melihat air matamu
mengalir menangisi
kematianku.
Sayangku, saya tahu, ada
banyak orang yang bisa
mencintaimu lebih dari saya
mencintaimu. Untuk itu
sayang, jika semua yang
telah diberikan tanganku,
kakiku, mataku, tidak
cukup bagimu. Aku tidak
bisa menahan dirimu
mencari tangan,
kaki, dan mata lain yang
dapat membahagiakanmu."
Air mata saya jatuh ke atas
tulisannya dan membuat
tintanya menjadi kabur, tetapi
saya tetap berusaha untuk
membacanya.
"Dan sekarang, sayangku,
kamu telah selasai
membaca jawaban saya.
Jika kamu puas dengan
semua jawaban ini, dan
tetap menginginkanku
untuk tinggal di rumah ini,
tolong bukakan pintu
rumah kita, saya sekarang
sedang berdiri disana
menunggu
jawabanmu. Jika kamu tidak
puas, sayangku, biarkan
aku masuk untuk
membereskan
barang-barangku, dan aku
tidak akan mempersulit
hidupmu.
Percayalah, bahagiaku bila
kau bahagia."
Saya segera berlari membuka
pintu dan melihatnya berdiri di
depan pintu dengan wajah
penasaran sambil tangannya
memegang susu dan roti
kesukaanku.
Oh, kini saya tahu, tidak ada
orang yang pernah
mencintai saya lebih dari
dia mencintaiku.
Itulah cinta, di saat kita
merasa cinta itu telah
berangsur-angsur hilang
dari hati kita karena kita
merasa dia tidak dapat
memberikan cinta dalam
wujud yang kita inginkan,
maka cinta itu
sesungguhnya telah
hadir dalam wujud lain yang
tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita
butuhkan adalah
memahami wujud cinta dari
pasangan kita, dan bukan
mengharapkan wujud
tertentu.
Dari Member :Dreammaker's D.
Leonhart
Hikmah : Di bawah naungan
ajaran Islam, kedua pasangan
suami istri menjalani hidup
mereka dalam kesenyawaan dan
kesatuan dalam segala hal;
kesatuan perasaan, kesatuan
hati dan dorongan, kesatuan
cita-cita dan tujuan akhir hidup
dan lain-lain.
Di antara keagungan al-Qur'an
dan kesempurnaannya, kita
melihat semua makna tersebut,
baik yang sempat terhitung
atau pun tidak, tercermin pada
satu ayat al-Qur'an, yaitu:
"Mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka." (al-
Baqarah:187)