:: Mau dapatkan semua berita terhangat di negeri ini dan luar negeri ya.. cuma disini tempatnya. Digital News 4U Menyajikan berita terhangat dan unik ::
TopBottom
Announcement: wanna exchange links? contact me at infoyudijs@gmail.com.

Dokumen Kesehatan Bung Karno Sebelum Wafat Di Temukan

Posted by yudijs | Digital News 4U at Kamis, 21 Oktober 2010
Share this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Yahoo Furl Technorati Reddit




[Artikel ini sudah dibaca sebanyak Kali]

Kisah
tentang Bung Karno (BK)
memang tak pernah
membosankan dan bisa datang
dari siapa saja. Di antaranya
dari dr. S.A.K. Soeroyo (alm.),
dokter pribadi BK sejak 1966
sampai presiden pertama kita
itu wafat pada 1970.
Pengalamannya dituturkan oleh
Ny. Soeroyo, yang juga berhasil
mengamankan dokumen
kesehatan dan catatan harian
para suster yang merawat BK.

Selulus dari Fakultas
Kedokteran UI pada 1961,
Soeroyo kena wajib militer
(wamil). Saat itu semua dokter
muda laki-laki seangkatannya
yang berbadan sehat harus ikut
wamil, karena bangsa Indonesia
sedang melaksanakan Trikora
untuk merebut Irian Barat dari
Belanda

Setelah menjalani pendidikan
militer selama beberapa bulan,
Soeroyo digabungkan dalam
pasukan PARA, Batalyon 330
Kujang I Siliwangi di Bandung. Ia
kembali menjalani latihan,
khususnya terjun payung di
Margahayu.

Namun, sebelum diterjunkan ke
medan, Irian Barat ternyata
telah berhasil direbut. Batalyon
330 Kujang I pun batal
berangkat ke sana. Soeroyo
dan teman-teman dari pasukan
PARA yang lain lalu ditarik ke
Direktorat Kesehatan Angkatan
Darat di Jakarta.

Bertepatan dengan itu, Resimen
Cakrabirawa (pasukan pengawal
Presiden Soekarno) mencari
beberapa dokter. Mereka pun
terpilih menjadi dokter pada
Resimen Cakrabirawa. Pada saat
itulah Soeroyo berkenalan
dengan BK.

Jangan ketahuan sakit
Selain menjaga kesehatan
pasukan, para dokter juga ikut
mengawal BK saat bepergian.
Setiap Jumat, Sabtu, dan
Minggu secara bergantian
mereka bersama ajudan BK
pergi ke Istana Bogor dengan
naik dua helikopter. Helikopter
pertama ditumpangi BK, yang
kedua oleh dokternya. Begitu
pula bila berkunjung ke luar
negeri, mereka bergantian
mendampingi BK.
Ia pernah bercerita, suatu
malam ada pertunjukan wayang
di Istana Bogor, padahal ketika
itu BK sedang sakit panas.
Repotnya, BK harus menonton.
Dikhawatirkan, kalau sampai
ketahuan sakit, dunia akan
geger. Untung, akhirnya ia kuat
menonton sampai pagi tanpa
terjadi apa pun.

Oktober 1965 BK berencana ke
Timur Tengah,khususnya
Aljazair. Pada saat itu Soeroyo
mendapat giliran mendampingi.
Untuk pengamanan, bersama
pasukan Intel Cakrabirawa ia
berangkat mendahului
rombongan presiden, pada 29
September 1965. Namun, seperti
kita ketahui, pecah peristiwa
G30S/PKI mengakibatkan BK
batal berangkat.

Bagaimana nasib dr. Soeroyo?
Selama sebulan penuh sejak
keberrangkatannya, tak ada
kabar dari dia. Padahal pasukan
Cakrabirawa sedang diperiksa,
karena banyak anggotanya
terlibat peristiwa G30S/PKI.
Banyak teman Soeroyo datang
menanyakan keberadaannya.
Saya hanya menjawab, "Tidak
tahu," karena memang tidak
tahu. Saya yakin Soeroyo tidak
terlibat, karena ia tidak pernah
berucap tentang akan adanya
tragedi itu.

Baru sebulan kemudian dia
pulang. Lucunya, kartu pos dan
suratnya baru berdatangan
setelah pengirimnya tiba di
rumah.

Ia pun bertutur, semendarat di
bandara di Aljazair, mereka
tidak boleh ke mana-mana dan
ditampung di KBRI. Meski
demikian mereka masih sempat
diajak jalan-jalan ke beberapa
negara di Timur Tengah dan
Eropa.

Usai peristiwa G30S/PKI, Resimen
Cakrabirawa dibubarkan.
Anggotanya yang tidak terlibat
peristiwa itu, termasuk
Soeroyo, diperintahkan
membantu para korban banjir
meluapnya Bengawan Solo.

Sekitar September 1966,
sekembali ke Jakarta dari tugas
di Solo, ia mendapat perintah
menjadi dokter pribadi BK. Ada
dua Surat Perintah. Yang
pertama dari BK sebagai
presiden, yang satunya dari
Soeharto selaku Menutama
Hankam/MenPangad. Jelaslah ia
tidak dapat menolak. Sejak itu
Soeroyo menanggalkan baju
hijau, berganti baju dokter,
"Putih bersih!" Kami sekeluarga
pun pindah dari Jakarta ke
Bogor.

Dokumen "peninggalan"
suami
Pengalaman menarik terjadi
saat BK ingin menghadiri
pernikahan salah seorang
putrinya. Ironisnya, tidak ada
orang yang mau mengantar-
jemput, padahal kesehatan BK
telah memburuk. Karena
memaksakan diri untuk hadir,
BK pun pergi dengan naik mobil
Soeroyo ke pernikahan itu.

Suatu malam Soeroyo pulang
larut malam dari Jakarta.
Katanya, keadaan BK gawat,
maka harus dirawat di RSPAD
Gatot Subroto. Esoknya, ketika
akan kembali ke Jakarta,
Soeroyo berpesan, "Kalau saya
tidak pulang dalam beberapa
hari, itu karena Bapak (Bung
Karno) rewel dan selalu marah-
marah. Saya harus di dekatnya."

Benar, selama beberapa hari ia
tidak pulang. Ketika pulang, ia
mengatakan, kondisi BK makin
parah, malah sudah dalam
keadaan tidak sadar.
Keluarganya sudah berkumpul,
termasuk Ratna Sari Dewi yang
selama itu ada di luar negeri.

Saat esoknya Soeroyo kembali
ke rumah sakit, Bung Karno
sudah wafat. Jenazahnya
dibawa ke Wisma Yaso. Karena
dilarang melayat ke Wisma Yaso,
Soeroyo pun pulang. Begitu
mendengar BK wafat, kami
merasa ada yang hilang. Selama
bertahun-tahun kami selalu
memikirkan beliau yang sudah
seperti ayah sendiri.

Setelah BK wafat, sebenarnya
Soeroyo bermaksud
meneruskan pendidikan, yakni
mendalami kardiologi. Sayang
sekali rencananya gagal.
Kendaraan yang
dikemudikannya tertubruk truk
sehingga kaca depannya hancur
dan mengenai matanya,
meninggalkan cedera dan
kecacatan. Ia terpaksa
mengundurkan diri, karena
bagian kardiologi tidak
menerima calon siswa yang
cacat mata.

Soeroyo pun mengenakan baju
hijaunya lagi dan mengabdikan
diri di RSPAD Gatot Subroto
sampai pensiun. Suami saya
meninggal pada akhir April 1997
setelah terserang stroke.

Beberapa bulan setelah ia
meninggal, saya membersihkan
rak bukunya. Tak disangka saya
temukan dua map berisi
dokumen kesehatan BK dan
sembilan buku catatan harian
para suster semasa BK dirawat
di Wisma Yaso. Warna dokumen
itu sudah kuning, karena
tersimpan selama 27 tahun.
Mungkin setelah BK wafat,
Soeroyo tidak tahu ke mana
harus menyerahkan dokumen-
dokumen itu. Ia pernah berkata,
suatu saat pasti akan ada yang
mencarinya.

Dalam dokumen itu ada catatan
kesehatan BK sejak 1966, hasil-
hasil laboratorium, hasil ECG,
hasil pemeriksaan gigi, mata, dll.
Juga ada sejumlah surat izin
dari Panglima Siliwangi, surat
permohonan Ibu Hartini kepada
Pak Harto agar BK diizinkan
dirawat di Wisma Yaso. Juga
beberapa surat undangan rapat
dari tim dokter BK yang dari
pihak tentara. Memang setiap
minggu mereka mengadakan
rapat untuk membicarakan
kesehatan BK. Hasil rapat
diserahkan pada Pak Harto.
Selain itu ada tongkat komando
sederhana pemberian BK bagi
Soeroyo.

Dari buku-buku catatan harian
suster dapat kami baca
keadaan BK. Di antaranya
tindakan medis yang diberikan,
semua kegiatan BK - mulai
bangun, mandi, sampai tidur lagi
-, juga para tamu yang datang,
dll. Catatan itu ditulis dari menit
ke menit, jam ke jam, dan hari
ke hari oleh para suster yang
menjaga dan menemani BK
secara bergantian selama
kurang lebih satu setengah
tahun.

Dokumen itu kami simpan saja.
Pernah terpikir untuk
menyerahkannya pada redaksi
suatu majalah. Pasti mereka
mau, karena mendapat cerita
menarik. Namun, hati nurani
kami menolak. Pada waktu itu
Orba masih berkuasa, Pak Harto
belum lengser.

Suatu hari di televisi saya
melihat Ratna Sari Dewi
diwawancarai para wartawan.
Beliau marah-marah akan
menuntut Pak Harto. Menurut
dia, kalau saya tidak salah
interpretasi, "Bung Karno
meninggal karena diracun."

Saya kaget. Itu tidak betul.
Saya pikir, mungkin (keluarga
BK dan pemerintah) tidak
mempunyai catatan kesehatan
BK, sedangkan yang di RSPAD
barangkali sudah hilang.

Kemudian saya mendengar, polisi
akan mencari dokumen
kesehatan BK. "Wah gawat"
Saya takut dokumen itu hilang
kalau sampai diambil oleh pihak
lain. Jadi, saya harus
menyerahkannya pada keluarga
BK. Namun, ke mana?

Akhirnya ke Rachmawati
Terlintas nama Megawati
(mantan presiden R.I). Beliau
sangat dikenal oleh masyarakat,
pasti banyak yang tahu tempat
tinggalnya. Bu Mega sedang
berkongres di Bali, karena itu
saya membuat surat yang
menceritakan keberadaan
dokumen itu di tangan kami.

Oleh karena saat itu tidak
punya kendaraan, saya naik
kereta api sampai Stasiun Pasar
Minggu, dilanjutkan dengan
menumpang ojek. Sesampai di
rumah Ibu Megawati saya
menemui satpam. Jawaban
satpam yang tidak meyakinkan
membuat saya enggan
menyerahkan surat untuk
Megawati yang sudah saya
siapkan sebelumnya. Saya
kembali menemui tukang ojek
yang sabar menunggu, dan
memintanya mengantarkan ke
Terminal Lebak Bulus. Di rumah
anak saya, melalui buku telepon
saya mencari nomor telepon
putra-putri BK lainnya.
Sayangnya, hanya ada nomor
telepon Guntur (Sukarnoputra).
Namun, saat saya telepon
berkali-kali, jawabannya hanya,
"Tidak ada di tempat".

Saya hampir putus asa.
Untungnya, kebetulan saya
membeli Majalah DR (kini sudah
tidak terbit lagi) yang memuat
kisah BK. Saya menelepon
redaksinya dan menceritakan
masalah saya. Beberapa hari
kemudian datang wartawan
majalah itu untuk melihat
dokumen-dokumen itu dan
meneliti keasliannya. Mereka
berjanji akan mengantar kami
ke rumah Rachmawati.

Dokumen-dokumen itu berhasil
kami serahkan pada Rachmawati
di rumahnya. Akhir 1998, atas
seizin Rachmawati, DR memuat
dokumen itu.

Hati saya lega. Setidaknya, saya
berhasil menyelesaikan tugas
peninggalan suami.


Masukan Alamat Email Anda Di Sini Untuk Mendapatkan Berita Terbaru :



Artikel Terkait:


Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar yang bersifat Spam, Syara dan Profokatif